Sudah cukup lama peristiwa ini terjadi, 2 Desember 2009, saya sepulang menjadi fasilitator di sebuah hotel berbintang di kawasan jalan Casablanca, naik shuttle bus kawasan tempat saya tinggal. Sudah sekitar jam 8 malam, ketika kemudian saya turun di sebuah halte dekat rumah saya. Sekumpulan tukang ojek sudah menunggu saya di sana. Saya pun naik ojek yang pas gilirannya mengangkut penumpang.
Ojek satu ini sepertinya berusaha ramah dengan saya, karena selang beberapa ratus meter, pria paruh baya ini memulai percakapan basi dengan saya,”Hujan terus ya pak, belakangan ini.” Saya pun menjawab sekenanya, “Iya. Bagus lagi, banyak rejeki,” saya timpali. Dia pun balik bertanya,”Lha kok bisa banyak rejeki, pak?”. Saya tak kalah tangkas, menjawab asal-asalan,”Ya jelas dong pak, kalau hujan, petani senang, tanaman-nya dapat air.” Dalam hati saya kasihan juga, karena kalau hujan, ojek pasti kalah bersaing sama taksi, selisih 5-10 ribu dengan kompensasi tidak kehujanan. Rupanya ojek kita ini masih melanjutkan diskusi di atas sadel motor ini,”Betul pak, saya merasakan sekali, karena saya juga petani.” Saya agak kaget juga, dan bertanya dengan polos,”Ah, yang bener pak, memangnya petani apaan?” Saya jujur saja agak meragukan.
Dia kemudian bercerita dia punya sawah di sebuah tempat dekat Bintaro, saya lupa namanya. Sekarang sedang musim tanam katanya. Kemudian kami terlibat percakapan singkat yang asyik. Ojek kita ini ternyata pindah dari Jakarta, kena penggusuran pada tahun 1986. Sudah lama. Sejak saat itu, dia sudah ber-profesi sebagai petani. “Kenapa ngojek juga pak? Memang hasil sawah nggak cukup?” Dia menjawab dengan kalem,”Ah, sebenarnya cukup pak, cuma saya tidak bisa diam. Sawah sudah beres kalau sore-sore, yah dari pada nganggur, saya ngojek saja. Badan pegel kalau bengong.” Giliran saya yang terbengong, enak saja dia bilang badan pegel kalau bengong, saya merasa berbeda 180 derajad dengan fatsun yang saya mililki. Kalau sudah weekend, maka wajib hukumnya saya tidur siang minimal 2 jam. Dan bekerja 8 jam sudah cukup, karena otak dan badan kita perlu istirahat. Anda juga punya pendapat sama kan?
Saya kemudian berpikir, sepertinya alasan ekonomi lah yang membuat ojek kita ini rela bekerja part time, ‘after office hours’ nya sebagai petani. Betapa mulianya bapak kita ini. Karena masih cukup lama, saya yang iseng bertanya kemudian.”Memang berapa harganya waktu beli tanah tahun 1986, pak?” Dia berpikir sebentar,”Sekitar dua ribu semeter. Sekarang sudah ditawar sama developer sekitar 200 ribu. Tapi saya tidak niat jual. Kalau mereka mau beli 400 ribu boleh lah, nanti saya belikan tanah lagi.” Wah, naiknya 100 kali lipat, guman saya. Saya masih penasaran,”Memang berapa meter sawahnya, pak?” Dan jawaban ini yang bikin saya bengong,”Dulu waktu beli ada sekitar 3 hektar, sekarang tinggal 1 hektar, habis saya bagikan ke saudara-saudara.” Otak saya langsung bekerja sebagai kalkulator, 200.000 rupiah kali 10.000 meter = 2 milyar. Saya langsung merasakan nuansa berbeda, saya diboncengi oleh ojek yang punya kekayaan 2 milyar. Saya jadi malu hati telah bersyakwasangka tadi. Dan malu kwadrat terhadap kebiasaan saya selama ini, sok minta istirahat meskipun baru bekerja 8 jam dan merasa telah mumpuni. Ojek kita ini, telah mengingatkan saya untuk bekerja lebih giat daripada hanya sekadar 8 jam. Tapi punya 2 milyar dan tetap ngojek juga, saya tak habis pikir.
Ketika sampai, dia melihat tanaman daun gajah yang tumbuh lebat dan subur di halaman depan rumah saya. “Wah, daun-nya bagus pak, terutama untuk ikan mujair, bikin mulut mereka gatal, sehingga mau makan apa saja dan jadi cepat gemuk.” Saya langsung mempersilakan ojek 2 milyar ini untuk mengambil daun-daun itu kapan saja. “Memang bapak beternak mujair juga, berapa banyak ikan-nya?” tanya saya. Dia menjawab dengan santun,”Iya pak, sekadar bikin rame di sawah, mungkin jumlahnya sekitar 1000-2000 ikan kali, saya sudah lama tidak menghitung.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar