Rabu, 13 Juni 2012

KISAH API


Pada   zaman   dahulu  ada  seorang  yang  merenungkan  cara bekerjanya   Alam,  dan  karena  ketekunan  dan   percobaan-percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan  untuk  berkelana  dari satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak tentang penemuannya.

Nur  menyampaikan  rahasianya  itu   kepada   berbagai-bagai kelompok   masyarakat.   Beberapa   di  antaranya  ada  yang memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira bahwa  ia  mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu  bagi mereka.   Akhirnya,  sekelompok  orang  yang  menyaksikannya memamerkan  cara  pembuatan  api  menjadi  begitu  ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin bahwa ia setan.

Abad demi abad berlalu.
Bangsa pertama yang belajar  tentang api  telah  menyimpan  rahasia  itu untuk para pendeta, yang tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara  rakyat kedinginan.

Bangsa  kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat untuk membuatnya.

Bangsa  yang  ketiga  memuja  patung  yang menyerupai  Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu.

Yang  keempat  tetap  menyimpan  kisah  api  dalam  kumpulan dongengnya:  ada  yang  percaya, ada yang tidak.

Bangsa yang kelima  benar-benar  mempergunakan   api,   dan   itu   bias menghangatkan    mereka,   menanak   makanan   mereka,   dan mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang  berguna  bagi mereka.

Setelah  berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan beberapa   pengikutnya   mengadakan    perjalanan    melalui negeri-negeri   bangsa-bangsa   tadi.   Para   pengikut  itu tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang  dilakukan bangsa-bangsa  itu;  dan  mereka pun berkata kepada gurunya, "Tetapi  semua  kegiatan  itu  nyatanya   berkaitan   dengan pembuatan  api,  bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka itu!"

Sang  Guru  menjawab,  "Baiklah.  Kita  akan  memulai   lagi perjalanan  ini.  Pada  akhir  perjalanan nanti, mereka yang masih bertahan  akan  mengetahui  masalah  kebenarannya  dan bagaimana mendekatinya."

Ketika  mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu diterima dengan suka hati. Para  pendeta  mengundang  mereka menghadiri  upacara  keagamaan,  yakni pembuatan api. Ketika upacara selesai, dan bangsa itu sedang  mengagumi  apa  yang mereka  saksikan,  guru  itu  berkata,  "Apa  ada yang ingin mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau   kau   mau  melakukannya  atas  tanggungan  sendiri, silahkan saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama  itupun  melangkah  ke  muka  kehadapan pemimpin  bangsa  dan  para  pendeta itu, lalu katanya, "Aku bisa  membuat  keajaiban   yang   kalian   katakan   sebagai perwujudan  kekuatan  dewa  itu. Kalau aku kerjakan hal itu, maukah  kalian  menerima  kenyataan   bahwa   bertahun-tahun lamanya kalian telah tersesat?"

Tetapi  para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir  itu  melanjutkan  perjalanan,  dan  sampai  di negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api. Ada lagi seorang pengikut  yang  memberanikan  diri  mencoba menyehatkan akal bangsa itu.

Dengan  izin  gurunya  ia  berkata,  "Saya  mohon izin untuk berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa  yang  berakal.
Kalian  memuja  alat-alat  untuk  membuat sesuatu, dan bukan hasil  pembuatan  itu.  Dengan   demikian   kalian   menunda kegunaannya.  Saya  tahu  kenyataan  yang  mendasari upacara ini."

Bangsa itu terdiri  dari  orang-orang  yang  lebih  berakal. Tetapi  mereka  berkata  kepada pengikut kedua itu, "Saudara diterima baik sebagai musafir  dan  orang  asing  di  antara kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami  kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha membuang atau mengganti agama kami. Karena  itu  kami  tidak mau mendengarkan Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.

Ketika  mereka  sarnpai  ke  negeri  bangsa  ke tiga, mereka menyaksikan di depan setiap  rumah  terpancang  patung  Nur, orang  pertama  yang  membuat  api.  Pengikut ketiga berkata kepada pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan, yang bisa dipergunakan."

"Mungkin  begitu,"  jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bias menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."

"Hanya bagi beberapa orang yang  mau  mengerti,  bukan  bagi mereka  yang  menolak  menghadapi  kenyataan," kata pengikut ketiga itu.

"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang  bahkan tak  bisa  mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan pendeta  yang   ditahbiskan   menurut   adat   kami,"   kata pendeta-pendeta   itu.   Dan  pengikut  darwis  itupun  bisa
melanjutkan usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di  negeri bangsa   keempat.   Kini  pengikut  keempat  maju  ke  depan kerumunan orang.

"Kisah pembuatan api itu  benar,  dan  saya  tahu  bagaimana melaksanakannya," katanya.

Kekacauan  timbul  dalam  bangsa  itu, yang terpecah menjadi beberapa kelompok.  Beberapa  orang  berkata,  "Itu  mungkin benar,  dan  kalau  memang  demikian,  kita ingin mengetahui bagaimana cara membuat api." Ketika  orang-orang  ini  diuji oleh  Sang  Guru  dan  pengikutnya,  ternyata sebagian besar ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri  saja,  dan tidak   menyadari   bahwa   bisa  bermanfaat  bagi  kemajuan kemanusiaan.  Begitu  dalamnya  dongeng-dongeng  keliru  itu merasuk  ke  dalam  pikiran  orang-orang itu sehingga mereka yang mengira dirinya  mewakili  kebenaran  sering  merupakan orang-orang  yang  goyah,  yang  tidak akan juga membuat api bahkan setelah diberi tahu caranya.

Ada kelompok lain yang berkata,  "jelas  dongeng  itu  tidak benar.  Orang  itu  hanya  berusaha  membodohi kita, agar ia mendapat kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa kita.  Kalau  kita  tinggalkan  dongeng  itu,  dan  kemudian ternyata  penafsiran  baru  itu tak ada gunanya, apa jadinya dengan bangsa kita ini?"

Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.

Rombongan itu pun bergerak lagi,  sampai  ke  negeri  bangsa yang  kelima;  di  sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Kalian harus belajar cara  mengajar,  sebab  manusia  tidak ingin  diajar.  Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka bahwa masih ada  saja  hal  yang  harus  dipelajari.  Mereka membayangkan  bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin mempelajari apa  yang  mereka  bayangkan  harus  dipelajari, bukan  apa  yang  pertama-tama  harus mereka pelajari. Kalau kalian  telah  mempelajari  ini  semua,  kalian  baru   bisa   mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa untuk  mengajarkannya  tidak  sama  dengan  pengetahuan  dan kemampuan."

Catatan

Untuk  menjawab  pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,

"Seorang barbar adalah manusia  yang  daya  pahamnya  begitu tumpul  sehingga  ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan atau   merasakan   sesuatu   yang   hanya   dipahami   lewat pengembangan  dan  penerapan  terus-menerus  terhadap  usaha mencapai Tuhan.

Manusia menertawakan Musa  dan  Muhammad,  atau  karena  mereka sangat  tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka berbicara dan bertindak."
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar