Rabu, 13 Juni 2012

Berapa pun Tingginya Kekuasaan Seseorang akan Menjadi Tulang yang Busuk


Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
Singkat kata, orang Yahudi itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.
Sepeninggal si Yahudi itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
Orang Yahudi itu pun pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khattab. seasampainya di Madinah ia bingung di manakah letak Istana sang Khalifah.
"Dimanakah istana raja negeri ini?" tanya seorang Yahudi itu.
"Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid, dekat batang kurma itu," jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi itu terbayang keindahan istana khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang tempat berteduh khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuman sebatang. Di bawah pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah batang kurma, "Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin Khattab," tanyanya.

Lelaki yang ditanya bangkit, "Akulah Umar bin Khattab."
Yahudi itu terbengong-bengong, "Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini," katanya menegaskan.
"Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini," kata Umar bin Khattab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan buatan. Jelas semua itu jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana serba gemerlap.

Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.

"Di manakah istana tuan?" tanya si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menuding, "Kalau yang kau maksud kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang terakhir."
"Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?"
"Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah."
Yahudi itu terdiam mendengar ucapan Umar bin Khatab.
“Ada perlu apa anda, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan penuh wibawa, Yahudi itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” Yahudi itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si Yahudi. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.
Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash dan menyerahkan sepotong tulang yang dibawanya. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan kesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.
“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digoreskan di atas tulang itu artinya berlaku adil dan luruslah kamu pada siapapun, atau aku yang akan meluruskanmu dengan pedangku!” jelas sang gubernur.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar