Rabu, 20 Juni 2012

Falsafah Hidup yang adi luhung


"Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake". Demikianlah "gegebengan" atau Falsafah Hidup yang adi luhung warisan leluhur yaitu yang diturunkan oleh RM Pandji Sosrokartono kepada anak cucunya. RM Pandji Sosrokartono ( Lahir tanggal 10 April 1877 ) adalah putra Bupati Jepara yaitu RM Adipati Ario Sosroningrat, dan adalah kakak dari Pahlawan Wanita Indonesia RA Kartini. RM Pandji Sosrokartono adalah bangsawan yang memiliki semangat belajar yang luar biasa, dan beliau belajar di Universitas Leiden Belanda dengan mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Ketimuran. Beliau menguasai 26 Bahasa Asing !. Falsafah hidup yang diwariskan tersebut diatas adalah karena selain sebagai tokoh bahasa, beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh kebathinan atau KEJAWEN. Tidak salah juga apabila kita sebagai generasi Jawa berikutnya juga memegang teguh falsafah tersebut karena apabila kita dapat menghayati dan mengamalkannya dengan baik maka akan bermanfaat bagi kita semua.
"Sugih tanpa bandha", dapat diartikan pula menjadi 'rumangsa sugih senajan tanpa bandha'. Leluhur sangat berharap bahwa anak cucunya harus merasa 'kaya' dan bukan merasa 'miskin', terpencil, menyendiri, terpojok, bahwa manusia tidak boleh MINDER, merasa berkecil hati, merasa rendah diri, dsb. Secara manusiawi memang manusia adalah termasuk bagian makhluk yang materialistis / keduniawian. Akan tetapi Tuhan menciptakan manusia juga terdiri dari ROH atau suksma yang dapat mengenang dan beribadah kepada Tuhan sehingga manusia tidak hanya terpusat kepada materi saja tetapi juga mengutamakan sifat Roh dan suksmanya. Dengan demikian manusia tidak saja dinilai dari kekayaan materi tetapi harus dinilai juga dari kekayaan hatinya. Justru sesungguhnya manusia dinilai dari kekayaan hati. Orang yang kaya hati dapat ditandai oleh ketentraman hati dan pikirannya. Ia menjadi orang yang sabar, ikhlas dan tenang dalam menghadapi segala persoalan. Ia akan senantiasa bersyukur kepada Allah.
"Digdaya tanpa aji". Manusia dikatakan digdaya apabila manusia tahan banting, tahan terhadap pukulan, bacokan, senjata tajam, dsb. Manusia dikatakan digdaya apabila memiliki kesaktian. Kesaktian atau kadigdayan hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu saja, antara lain oleh orang yang sudah berhasil melaksanakan 'laku' tertentu, atau orang yang dilindungi oleh 'leluhurnya', atau orang yang benar-benar beriman yang di anugerahi kekuatan oleh Tuhan. Kesaktian digunakan manusia untuk membela diri apabila terjadi serangan atau gangguan dari pihak luar. RM Pandji Sosrokartono menciptakan falsafah tersebut adalah benar-benar memiliki maksud yang mendalam. Kita sebagai manusia hendaknya terbebas dari gangguan dan serangan walaupun tanpa memiliki kesaktian atau memegang jimat / aji. Mengapa demikian ? Karena manusia harus memiliki sifat yang baik, tata krama yang unggul, memiliki perilaku yang luar biasa baik sehingga tidak memiliki musuh sama sekali. Apabila manusia tidak memiliki musuh niscaya terhindar dari serangan dan gangguan, sehingga hidupnya tenang dan nyaman, jadi tanpa aji/jimat pun manusia sudah digdaya.
"Nglurug tanpa bala". Dikatakan demikian karena sebagai manusia harus maju perang tetapi berangkat sendiri, dan tidak membawa 'pasukan'. Kita harus berangkat sendiri tanpa membawa pasukan karena kita harus berperang melawan 'diri sendiri', artinya kita harus mampu melawan hawa nafsu sendiri, baik itu nafsu amarah (emosional), nafsu ketamakan, kerakusan, kelicikan, ambisius, dll, yang bersifat negatif. Melawan diri sendiri sangatlah berat, tanpa niat yang kuat dan tulus kita akan kalah melawan nafsu diri sendiri. Apabila kita sudah dapat mengerem atau melawan hawa nafsu maka kita dapat dikatakan menang berperang walaupun tanpa membawa pasukan. Pujangga terkenal Ki Ranggawarsita dalam karyanya 'Serat Kalatidha' mewariskan Tembang Sinom yang indah :
"Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi,melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada".
Terjemahan bebasnya adalah : "Memasuki jaman edan, merasa kesulitan cara menghadapinya, mau ikut edan tidak tahan, kalau dikatakan tidak ikut edan kok kenyataan melakukannya, karena adanya rasa keinginan, akhirnya kelaparan, atas kehendak Allah, beruntungnya orang yang lupa kepada Allah, masih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada".
Tembang ini ditujukan untuk para anak cucu agar tidak serta merta menuruti hawa nafsu yang sering menggoda, tetapi harus dengan tekad kuat mengalahkannya.

"Menang tanpa ngasorake". Falsafah ini bisa kita hayati dari pembelajaran kita mengenai TATA KRAMA JAWA, yaitu kita harus dengan taat mengamalkan Nandhing Sarira, Ngukur Sarira, Tepa Sarira, Mawas Diri, dan Mulat Sarira. (lihat TATA KRAMA JAWA) . Apabila kita sudah menyatu dalam tata krama tersebut kita dapat menjadi seorang Pemenang tanpa harus mengalahkan musuh karena kita sudah menjadi pribadi yang 'sareh', yang senantiasa 'eling', 'waspada', yang benar-benar mengenal diri sendiri, senantiasa mengutamakan kebaikan, menjunjung tinggi 'laku utama', dan menyerahkan dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar