Rabu, 06 Juni 2012

Ber Budi Bawa Leksana Etika Kepemimpinan Jawa


Ber budi adalah sikap seorang pemimpin yang murah hati, suka memberi ganjaran, berdana ria dan selalu memikirkan kesejahteraan bawahan.

Pemimpin memiliki kesempatan yang berlimpah ruah untuk mengumpulkan kemakmuran, kenikmatan dan kehormatan tanpa banyak harus bersusah payah. Pemimpin juga mempunyai kewengan dalam pengeluaran anggaran yang dapat menambah kesejahteraan bawahan. Namun bila hasilnya tidak disebarkan secara merata dan adil maka kenikmatan itu akan menjelma menjadi senjata makan tuan. Bahkan suatu saat akan menjatuhkan diri dan martabatnya.

Ungkapan ber budi maknanya asring paring dana. Tindak kongkritnya yaitu anggeganjar saben dina yang bermakna seorang pemimpin yang pemurah, kreatif, inovatif serta memiliki kepribadian agung.

Bawa leksana adalah menepati dan menetapi kata-kata. Sabda brahmana raja sepisan kudu dadi tan kena wola-wali, mengandung makna bahwa perkataan ulama dan umara itu harus bisa dipegang.

Oleh karena itu sebelum diucapkan harus dipikirkan masak-masak.

Raja dan brahmana merupakan figur panutan yang diikuti oleh banyak orang. Idiom esuk dhele sore tempe hanya patut diucapkan oleh pedagang di pasar yang hanya mengejar laba tak memikirkan dampak kata-katanya. Sangat berbahaya bila pemuka masyarakat cepat-cepat berubah ucapannya hanya untuk menuruti selera sesaat.
Orang yang mencla-mencle akan menyusahkan. Lire kang bawa leksana anetepi pangandika adalah suatu ungkapan yang penuh dengan prinsip luhur yang perlu dipraktikkan para pemimpin.

Sembah kalbu(syare’at) mengandung arti menyembah Allah swt dengan alat batin kalbu atau hati, sembah jiwa berarti menyembah Allah swt dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Allah swt dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus.
Menurut Mangku Negara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan demikian menurut Mangku Negara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa (Makrifat) tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya.

Anteng, Meneng, Jatmika, Sembada

Anteng bermakna tenang, halus, indah tapi berbobot. Ada pepatah: air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan, yaitu larangan untuk meremehkan hal-hal yang kelihatan remeh yang tak berdaya.
Sikap anteng akan menimbulkan kewibawaan dan mendatangkan rasa hormat dari pihak lain. Dalam proses belajar mengajar, sikap anteng itu sangat diperlukan.
Guru akan merasa dihargai jika siswanya bersikap anteng. Dengan sikap anteng berarti siswa memperhatikan dan memahami ajaran gurunya. Suasana gaduh akan membuat pelajaran tidak bisa dipahami dan emosi mudah terbakar.
Dalam forum resmi sikap anteng diperlukan demi kelancaran hal yang sedang dibicarakan. Keputusan yang dihasilkan oleh forum yang anteng pesertanya maka hasilnya akan lebih jernih. Dalam kehidupan sehari-hari pribadi yang anteng bisanya mampu berpikir lebih jernih untuk memecahkan berbagai persoalan.
Sikap anteng lebih memenkankan pada sikap disiplin dalam melaksanakan kewajiban. Disiplin adalah jantung kehidupan manusia untuk meraih sukses, sebab tanpa disiplin yang keras dan berkesinambungan seseorang tidak mungkin dapat mengembangkan diri secara optimal.
Inspektorat jenderal tidak munkin menjadi kuat jika dibangun di atas puing-puing ketidak disiplinan oleh mayoritas pegawainya.

Meneng artinya diam. Namun diam di sini bukan dalam arti tanpa sikap dan tidak tahu persoalan. Seseorang harus diam di kala tertentu agar suasana tidak menjadi keruh. Suasana yang panas akibat dari ucapan yang bermacam-macam menambah potensi konflik menajam dan perselisihan meruncing. Pilihan untuk diam merupakan sikap terbaik dan bijaksana. Di sini bisa dikatakan: diam adalah emas. Apabila konflik memuncak dan ujung kompromi tak diketemukan, biasanya mereka akan berpaling kepada pihak yang tidak banyak bicara. Dan barulah pihak ini memberikan solusi yang jernih dan efektif. Tindakan diam juga bisa digunakan untuk menghadapi orang keras.
Orang keras kalau dihadapi secara frontal akan bertambah beringas. Dengan diam, lama-kelamaan ia akan sadar diri.

Jatmika adalah segala tindak-tanduk yang berdasarkan kaidah kesusilaan, sehingga siapa saja yang menyaksikan akan berkenan dalam hati. Dalam posisi apa pun, sikap jatmika senantiasa membawa rasa wibawa, segan dan hormat. Bagi kalangan bangsawan, ningrat atau priyayi, sikap jatmika akan menimbulkan rasa simpati buat rakyat kecil. Kekaguman rakyat kecil terhadap kelas atas karena tingkah laku yang jatmika ini. Sikap ini membuat rakyat kecil menaruh kepercayaan. Kepercayaan termasuk modal yang ampuh untuk menerapkan wewenang. Rakyat kecil mudah terhipnotis oleh wibawa jatmika sang pemimpin. Sebagai contoh adalah yang ditunjukkan oleh Presiden Soekarno. Hingga sekarang, kharisma beliau terpancar seolah-olah beliau masih hidup dan memberikan semangat juang.

Sembada berarti berperilaku yang sesuai dengan kemampuan, perkataan, serba cukup, cocok dengan kenyataan dan selalu mengambil keputusan tanpa merepotkan orang lain. Orang yang sembada berarti segalanya sudah ditakar, diukur dan dikirakira.
Banyak orang yang suka menutupi kekurangan diri dengan berbuat berlebihan, sehingga pada ujung-ujungnya menimbulkan kesulitan. Berperilaku mewah agar mendapat wah, itu sama halnya dengan menabung masalah. Penampilan mewah bolehboleh saja tetapi harus sembada dengan menakar diri.
Prinsip sembada ini bila dilanggar maka seseorang akan kecele, kewirangan, dan menjadi buah bibir buruk bagi orang yang iri. Kadang-kadang menjadi luapan balas dendam dengan mengejek.

Wiratama berasal dari kata wira yang artinya gagah berani dan utama yang artinya juga utama. Wiratama berarti gagah berani melakukan kebajikan, atau satria agung yang gagah berani membela kebenaran dan keadilan. Orang yang berjiwa wiratama berarti mementingkan kepentingan orang banyak. Dirinya merasa bermakna hidupnya apabila bermanfaat bagi masyarakat umum. Tenaga dan pikirannya disumbangkan kepada khalayak. Cepat kaki ringan tangan dalam beraktivitas sosial dan
peduli dengan nasip orang lain yang membuatnya populer. Secara alamiah pemimpin akan muncul dari orang-orang yang peduli terhadap orang lain dan memperhatikan kepentingan umum. Akhirnya kepemimpinan yang demikian itu akan diakui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar