Rabu, 13 Juni 2012

Office Boy yang kemudian menjadi Vice President


Sungguh sebuah karunia yang luar biasa bagi saya bisa bertemu dengan seorang yang memiliki pribadi dan kisah menakjubkan. Dialah Houtman Zainal Arifin, seorang pedagang asongan, anak jalanan, Office Boy yang kemudian menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Sebuah jabatan Nomor 1 di Indonesia karena Presiden Direktur Citibank sendiri berada di USA.

Tepatnya 10 Juni 2010, saya berkesempatan bertemu pak Houtman. Kala itu saya sedang mengikuti training leadership yang diadakan oleh kantor saya, Bank Syariah Mandiri di Hotel Treva International, Jakarta. Selama satu minggu saya memperoleh pelatihan yang luar biasa mencerahkan, salah satu nya saya peroleh dari Pak Houtman. Berikut kisah inspirasinya:
Sekitar tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.
Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.
Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.
Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.
Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.

Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.
Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.
Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.
Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.
Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.
Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.
19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.
Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang .
(Kisah Nyata Houtman Zainal Arifin, disampaikan dalam training Leadership bank Syariah Mandiri)


Aku pun berada dipuncak karir, rasanya apapun bisa kuperoleh dengan uang dan jabatan yang kumiliki. Dunia telah berada dalam genggamanku. Tidak lagi dihinakan, kini aku dipuja dan sangat dihormati.
Banyak orang beranggapan bahwa kekayaan adalah segalanya, materi akan menyelesaikan segalanya. Akan tetapi hati kecilku tidak bisa berdusta. Ada noktah kekosongan disana. Hatiku galau dan risau memikirkan untuk apa semua pencapaian, prestasi dan kekayaan yang selama ini kuperoleh. Aku mengalami kekosongan hati.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, begitu seterusnya, Aku menjalani hari-hari dengan hambar. Tidak ada yang dilakukannya selain bekerja dan bekerja. Sampai suatu ketika di Bulan Ramadhan seorang rekan mengajakku ke suatu tempat.
“ikut sama gua, yuk ” seorang rekan mengajak, tampaknya dia sudah lama mengetahui kegalauan hatiku.
“kemana? Emang mo ngapain” begitu jawabku
“adalaah, ikut aja… ngga ada ruginya ikut ama gua” begitu sang rekan mencoba meyakinkan.
Akhirnya Aku bersedia di ajak, toh akupun memiliki keluasan waktu, tidak ada ruginya untuk mengikuti ajakannya.
Ternyata dia mengajakku ke sebuah pengajian di Panti Anak Yatim.
Sepertinya dia telah terbiasa mengikuti pengajian seperti ini, mungkin sudah lama menjadi salah satu pengurus panti. Akupun larut mengikuti acara pengajian yang diselenggarakan. Pada dasarnya pengajian seperti itu sering aku ikuti kala masih di kampung dulu. Ramai sekali suasana pengajian, namun Aku seperti tidak merasakan kehangatan suasana.
Kuperhatikan anak-anak yang duduk bersalwat, mereka adalah anak-anak yang sudah tidak lagi memiliki orang tua. Suara takbir, tahlil dan tasbih sahut menyahut, sementara aku beku di tengah keramaian. Hatiku hampa dan gelisah.
Pengajian pun selesai tapi acara belum usai, kutinggalkan ruangan. Aku berjalan-jalan keluar, masih diseputaran gedung panti. Di tengah temaram bulan yang sedikit bersinar, kulihat sinarnya tersembul sedikit diantara pintalan awan, Aku melangkah perlahan. Kutendangi kerikil-kerikil kecil, mencoba mengatasi kegundahan yang ada. Beberapa anak yatim bermain berlarian di halaman panti, kuamati mereka semua. Tiba-tiba semungil panggilan menyeruak.
“Om, Om.. Om kan yang tadi di dalam ya, tadi ikut pengajian kan?”
Ternyata seorang anak perempuan memanggilku
“iya nak” “hmm siapa namamu sayang?” Aku balik bertanya
“Aku Nina om”
“cantik sekali Nina, Nina sedang apa” Aku membungkukkan badan, berusaha menyamai tinggi anak itu. “Nina sudah sekolah, sekolah dimana?”
“Sudah om, sekolah Nina dekat kok disini”
“pintar-pintar belajar ya nak disekolah,”
“Sini nak, temanin om lihat-lihat panti ya”
Aku pun berkeliling bersama Nina melihat lihat keadaan panti, kami mengobrol penuh canda, kamipun pun semakin akrab .
Tiba-tiba Nina menyampaikan sesuatu yang tidak pernah diduga.
“Om hmm om”, suara Nina tercekat.
“ada apa Nina, kok kamu terlihat gelisah? Apa om bisa bantu?
“ini om… Nina boleh minta sesuatu ga, tapi om jangan marah yaaa”
“tentu Nina, om gak akan marah, Nina emang perlu apa?” Aku berjongkok mensejajarkan dengan Nina.
Lama Nina terdiam, wajahnya pucat menahan sekat ditenggorokan. Aku mengelus-elus kepalanya. “ada apa Nina… bilang sama Om, pasti om bantu”
“Om bolehkah Nina memanggil Ayah kepada Om?”
“Om ngga marah kan?”
“Om mau kan jadi ayah Nina?”
Bercecaran Nina mengeluarkan isi hatinya.
Aku terdiam, tersungkur dalam keheningan.
Seketika kupeluk Nina, sebuah permintaan yang tidak pernah kuduga.
“tentu anakku, tentu” “Nina boleh memanggil ayah”
Dipeluknya erat-erat Nina, tak terasa airmata telah mengalir, mengisi setiap relung kekosongan hatinya. Inikah petunjukmu ya Rabb, ucapku syukur dalam hati.
Malam semakin larut, saat semesta telah mempertemukan ayah dan anak.
“Nina, ini kan sudah malam, Ayah pulang dulu ya, besok ayah kembali lagi, Nina istirahat ya, kan besok harus sekolah”
“Besok mau dibawakan apa Nak sama Ayah?” aku mencoba berpamitan
“Ngga usah ayah, Nina sudah senaaang sekali udah punya ayah”
“Ninaaa, kalau nina tidak minta, ayah tidak mau pulang”
“lihat ini uang ayah, banyaak sekali, Nina tinggal minta , pasti ayah belikan”
“tidak ayah , Nina tidak ingin apa-apa”
“kalau Nina tidak mau , nanti ayah tidak kesini lho besok” Aku sedikit mengancam
Nina terdiam cukup lama, “tapi ayah jangan marah ya”
“iya nak, pasti ayah membawakan”
“Ayah, selama ini Nina ingin memiliki sesuatu”
“apa itu nak?”
“Nina ingin punya foto”
“foto apa nak, ayah bisa bawakan kamera buat Nina, Nina mau kamera?”
“bukan ayah, bukan itu” , ”Nina ingin foto ayah dan ibu”
“loh untuk apa nak”
“buat diperlihatkan disekolah yah, Nina ingin memperlihatkan foto ayah dan ibu, kalau Nina sekarang punya ayah dan ibu”
Aku menangis tersedu, dadaku sesak, pintu langit seperti terbuka, Tuhan telah membukakan mata hati, mengisi setiap relung-relung yang selama ini kosong. Ternyata materi bukan segalanya, kesuksesan bukan akhir dari sebuah kehidupan. Selama ini Aku telah melupakan satu hal yaitu berbagi dan mengasihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar