Rabu, 28 November 2012

I Z I N

Manusia itu makhluk paling unik. Selain itu, logikanya sering kacau, sehingga sering menarik kesimpulan sendiri: "Tuhan tidak adil,tidak memihak yang lemah dan teraniaya." Ia memandang adil atau baik dari kacamata sendiri, bukan sesuai dengan kehendak Illahi.
Ketidak adilan itu pula yang di soal seorang ibu, kala dua bayinya yang lucu meninggal. "Kenapa bukan orang lain," katanya menggugat Tuhan. Ia tak rela. Itulah buah kegamangan iman jika cinta pada sesama melebihi kepada Allah.
Berbeda dengan sikap Barakah 'Abidah di Arabia. Ia sukses. "Namun, aku masih saja khawatir kalau-kalau penghasilanku sama sekali tidak berarti dihadapan Allah. Karena itu, akupun sedih seraya berfikir, sekiranya Allah memang benar-benar menginginkan kekayaanku, Dia pasti bakal membinasakan hara dan anak-anaku," katanya.
Benar saja. Akhirnya, baik anak-anaknya maupun hartanya tidak tersisa "Namun, semuanya toh malah membuatku bahagia. Aku curiga, jangan-jangan Allah menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagiku melalui berbagai macam ujian ini. Dan inilah caranya-Nya mengingatkan diriku serta menjadikan jiwaku suci,"ujuarnya.
Menyucikan harga juga dilakukan seorang nonmuslim asal Sumatera. Ia senang membelikan peti mati kepada keluarga yang tidak mampu. Tiap minggu, dua atau tiga peti mati pasti disumbangkan. "Saya merasa nikmat sekali setelah membantu mereka," katanya.
Namum, kenikmatan itu ada yang mengganjal. Soalnya, uang untuk membeli peti mati itu bukan jerih payah sendiri, melainkan hasil keringat suaminya. "Saya ingin bisnis sendiri agar bisa membelikan peti mati untuk orang-orang tidak mampu." ujarnya.
Rasanya, jika pemberian itu seizin suami, makna dan barokahnya tetap sama, tanpa ada ganjalannya. Kisah ini persis dengan kisah Narada di pewayangan. Dia putra pembantu. Dia tidak terdidik. Kadang, jika ibunya berhalangan, dia pula yang melayani para resi.
Dalam kisah tersebut diuraikan bahwa Narada, yang mencuci piring bekas makan para penyembah mulia itu, ingin mencicipi sisa-sisa makanan. Iapun minta ijin kepada para resi. "Boleh saya makan makanan sisa ini," kata narada penuh harap. Diizinkan.
Rupanya, izin itulah yang membebaskannya dari segara reaksi dosa. Rupanya, sisa makanan resi itu pula yang berangsur-angsur membuat hati Narada sesuci mereka. Bahkan, melalui pergaulan itu minat hatinya untuk memuji kebesaran Tuhan berkembang pesat.
Cerita mengenai izin juga mengingatkan seorang budak cantik bernama Tuhfah di abad IX. Ia tidak mengenal tidur maupun makan. Kala kondisinya makin gawat, majikannya mengirim dia ke rumah sakit jiwa. Kendati ia berpakaian mewah dan wangi, kedua kakinya dirantai. Ia sering melantunkan bait-bait syair cinta.
Wahai, aku tidak gila tapi hanya mabuk!
Kalbuku sadar betul dan amat bening.
Satu-satunya dosa dan kesalahanku ialah dengan tidak tahu malu menjadi kekasih-Nya....
Setelah itu, Tuhfah pingsan. Begitu siuman, ia ditanya siapa yang engkau cintai?
"Aku mencintai Zat yang membuatku sadar akan anugerah, yang berbagai macam karunia-Nya menyebabkanku dikenai kewajiban, yang dekat dengan segenap kalbu, yang mengabulkan orang-orang yang membutuhkan," ujarnya.
Syaikh Al-Saqati yang mendengar syair itu tergetar. Ia menyimpulkan Tuhfah tidak gila, dan memintanya pergi ke mana saja. Tapi, gadis itu menjawab: "Aku hanya akan pergi jika majikanku mengizinkan. Kalau tidak, aku akan tetap disini." "Demi Allah," kata Al-Saqati dalam hati, "ia lebih bijak ketimbang diriku."
Tanapa disangka-sangka, majikan Tuhfah datang. Ternyata wanita yang mahir menyanyi dan bermain harpa itu dibelinya 22.000 dirham. "Semua kekayaan dan modalku habis," katanya. Ia berharap untung. Ternyata justru sering termenung, menangis, dan membuat orang lain tidak bisa tidur.
Itulah sebabnya, dia dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Jika begitu, "Berapapun harga yang kau minta, akan kubayar," kata Al-Saqati kepada majikan Tuhfah. Tawaran itu dicemoohka. Memang, Al-Saqati tak punya uang sedirhampun saat itu. Semabari berlinang air mata, ia pulang kerumah.
Malam itu pula, pintu rumah Al-Saqati diketuk orang. Orang itu, yang menyebut dirinya Ahmad Musni, ia membawa lima pundi uang. Ia datang atas bisikan "suara gaib" agar Al-Saqati bisa membebaskan Tuhfah. Kontan, Al-Saqati bersyukur mencium tanah. Esoknya, ia gamit tangan tamunya menuju ramah sakit.
Tak urung, penebusan itu membuat mata Tuhfah berlinang. Disaat itu pula majikan Tuhfah datang sebari menatap dan menangis. Aneh! Janganlah menangis, "Harga yang kau minta telah kubawakan dengan keuntungan 5.000 dinar," kata Al-Saqati.
"Demi Allah, tidak," kata majikan Tuhfah. Al-Saqati menambah keuntungan 10.000 dinar. Lagi-lagi dijawab, "Tidak, Tuan." "Sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk membelinya, aku tidak akan menerimanya," ia menambahkan. Ia ingin membebaskan Tuhfah tanpa penebusan. Budak itupun pergi dengan linangan air mata.
Waktupun berlalu. Al-Saqati, majikan Tuhfah dan Ahmad Musni menunaikan haji. Tapi diperjalanan Ahmad Musni wafat. Kala tawaf mengelilingi Ka'bah, Al-Saqati mendengar ratapan aneh nan pilu, jerit kesedihan dari hati yang terluka. Namun, ia tidak mengenalinya. "Mahasuci Allah! tidak ada Tuhan selain Dia. Dulu aku pernah dikenal. Kini aku tidak dikenal lagi. Ini aku, Tuhfah," katanya.
Maya Allah! Begitu diberitahu bahwa mantan majikannya juga sedang berhaji, gadis itu berdoa sebentar, lalu roboh disamping Ka'bah dan wafat. Tak lama setelah itu, mantan majikannya yang sedih melihat Tuhfah telah tiada terjatuh di samping Tuhfah, lalu meninggal pula. Tentu, takdir di depan rumah Allah ini seizin-Nya jua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar